Sejarah Apple yang Mungkin Belum Kamu Tahu - Portal Masyarakat

Menu Nav

    Social Items

Pada tahun 1975, seorang pria cerdas dan pendiam bernama Steve Wozniak bekerja sebagai insinyur kalkulator di Hewlett-Packard (HP). 

Wozniak bukan sekadar karyawan biasa. Ia merasa bersyukur. HP telah memberinya kesempatan, melatihnya, dan membayar tagihannya. Ia percaya pada perusahaan tersebut. 

Namun, Wozniak memiliki visi yang lebih besar daripada sekadar kalkulator.

Bekerja larut malam di HP, ia membangun sesuatu yang radikal: sebuah komputer yang cukup kecil dan terjangkau untuk dimiliki oleh orang biasa. Komputer itu disebut Apple I, terinspirasi oleh temannya, Steve Jobs. 

Mimpinya? 

Menempatkan kekuatan komputasi di tangan orang-orang sehari-hari. Dan karena ia adalah karyawan yang setia, ketika ia telah membangun sesuatu yang radikal—sesuatu yang bisa mengubah dunia—ia menawarkannya kepada HP, perusahaan yang memberinya kehidupan. 

Namun, ketika ia mempresentasikan idenya kepada HP, mereka hanya tertawa.

“Mainan.”
“Tidak berguna.”
“Untuk apa orang biasa membutuhkan komputer?”

Eksekutif HP menolaknya bukan sekali… bukan dua kali… tetapi lima kali. Setelah penolakan kelima, sahabat dekatnya, Steve Jobs, sudah tidak sabar. 

“Mari kita lakukan sendiri,” kata Jobs. Saat itulah lahirnya Apple dan hilangnya kesempatan HP untuk memimpin industri bernilai triliun dolar.

Steve Wozniak pun mengundurkan diri dari pekerjaannya di HP untuk memulai Apple bersama temannya, Steve Jobs. 

Sebelum Apple, komputer hanya untuk perusahaan dan universitas. Besar. Mahal. Rumit. Mereka memenuhi ruangan dan harganya puluhan ribu dolar. Hanya para ahli yang bisa menggunakannya. 

Orang biasa tidak bisa menyentuhnya, apalagi memilikinya. Namun, mimpi Steve Wozniak adalah membuat komputer menjadi pribadi. Membawanya ke tangan dan rumah orang-orang.

Mimpinya membuatnya terjaga. Di siang hari, ia bekerja di Hewlett-Packard (HP) sebagai insinyur. 

Di malam hari, ia menyolder dan menggambar secara diam-diam, membangun sesuatu yang luar biasa: sebuah mesin kompak dan terjangkau bernama Apple I di atas papan kayu. 

Temannya, Steve Jobs, melihatnya dan melihat masa depan. Jobs bukanlah seorang insinyur. Ia adalah energi. Penjual. Seorang yang percaya. 

Ia tidak hanya melihat papan sirkuit. Ia melihat sebuah produk. Ia melihat kemungkinan—sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh eksekutif HP.

Jadi, ia membuat tawaran berani: “Mari kita jual. Mari kita mulai sebuah perusahaan. 

Mari kita sebut… Apple.” Kenapa Apple? Karena itu sederhana. Jobs pernah menghabiskan waktu di sebuah kebun buah. 

Dan karena, dalam kata-katanya, itu terdengar “menyenangkan, bersemangat, dan tidak menakutkan.”

Maka, keduanya menjual apa yang mereka miliki. Wozniak menjual kalkulatornya, Jobs menjual van Volkswagen-nya, dan mereka mengumpulkan $1,300. 

Mereka pun mulai bekerja. Mereka merakit 50 komputer pertama yang dibuat oleh Steve Wozniak di garasi keluarga Jobs. 

Jobs, si penjual, masuk ke sebuah toko komputer lokal, The Byte Shop, dan meyakinkan mereka untuk membeli semua 50 komputer… sebelum komputer itu bahkan dibangun. Dan mereka membeli semuanya.

Itulah pergeseran: sebuah proyek hobi menjadi produk. Sebuah produk menjadi perusahaan. Apple Computer Inc. lahir pada 1 April 1976. Tiba-tiba, sebuah hobi menjadi usaha. 

Namun, mereka belum selesai. Wozniak membangun Apple II, sebuah mesin ramping dengan casing plastik, grafik berwarna, keyboard, dan penyimpanan yang dapat diperluas. 

Ini bukan hanya untuk para penghobi lagi. Ini untuk sekolah, rumah, kantor, dan anak-anak. Apple II tidak hanya terjual. Ia meledak.

Pada tahun 1980, Apple go public dengan valuasi $1,2 miliar. Sementara itu, HP, perusahaan yang menolak Wozniak lima kali, masih membangun kalkulator dan periferal perangkat keras. 

Mereka tidak hanya melewatkan sebuah produk. Mereka melewatkan revolusi komputer pribadi. Mereka melewatkan gelombang triliun dolar yang membentuk kembali planet ini.

Apa yang bisa kita pelajari dari Steve Wozniak, Steve Jobs, dan HP? 

Ketika kita memiliki ide besar, jangan tunggu persetujuan—terutama dari mereka yang tidak dapat melihat masa depan yang kita bayangkan. 

Steve Wozniak memiliki mimpi. Steve Jobs memiliki keberanian. HP memiliki kesempatan. Namun, mereka tidak hanya menolak Apple I. Mereka menolak masa depan, tidak sekali, tetapi lima kali.

Dan di mana posisi mereka sekarang? 

Saat ini, HP masih membangun perangkat keras, printer, komputer, dan suku cadang dengan estimasi kapitalisasi pasar sebesar $28 miliar. 

Sementara itu, Apple membentuk budaya, merancang masa depan, dan menguasai kapitalisasi pasar lebih dari $3 triliun. 

Semua karena dua teman memilih untuk percaya pada mimpi mereka daripada menunggu izin.

Berikut adalah pelajaran yang bisa diambil: – Jangan meminta visi dari yang buta. – Jika mereka menolak ide kita, itu mungkin bukan berarti ide itu buruk, tetapi mungkin terlalu awal bagi mereka. – 

Visioner tidak menunggu. Mereka membangun. – Terkadang, penolakan hanyalah pengalihan ke sesuatu yang lebih besar. – Jangan pernah meremehkan sebuah garasi, sebuah mimpi, dan dua teman dengan keyakinan untuk mewujudkannya.
Baca Juga

Sejarah Apple yang Mungkin Belum Kamu Tahu

Pada tahun 1975, seorang pria cerdas dan pendiam bernama Steve Wozniak bekerja sebagai insinyur kalkulator di Hewlett-Packard (HP). 

Wozniak bukan sekadar karyawan biasa. Ia merasa bersyukur. HP telah memberinya kesempatan, melatihnya, dan membayar tagihannya. Ia percaya pada perusahaan tersebut. 

Namun, Wozniak memiliki visi yang lebih besar daripada sekadar kalkulator.

Bekerja larut malam di HP, ia membangun sesuatu yang radikal: sebuah komputer yang cukup kecil dan terjangkau untuk dimiliki oleh orang biasa. Komputer itu disebut Apple I, terinspirasi oleh temannya, Steve Jobs. 

Mimpinya? 

Menempatkan kekuatan komputasi di tangan orang-orang sehari-hari. Dan karena ia adalah karyawan yang setia, ketika ia telah membangun sesuatu yang radikal—sesuatu yang bisa mengubah dunia—ia menawarkannya kepada HP, perusahaan yang memberinya kehidupan. 

Namun, ketika ia mempresentasikan idenya kepada HP, mereka hanya tertawa.

“Mainan.”
“Tidak berguna.”
“Untuk apa orang biasa membutuhkan komputer?”

Eksekutif HP menolaknya bukan sekali… bukan dua kali… tetapi lima kali. Setelah penolakan kelima, sahabat dekatnya, Steve Jobs, sudah tidak sabar. 

“Mari kita lakukan sendiri,” kata Jobs. Saat itulah lahirnya Apple dan hilangnya kesempatan HP untuk memimpin industri bernilai triliun dolar.

Steve Wozniak pun mengundurkan diri dari pekerjaannya di HP untuk memulai Apple bersama temannya, Steve Jobs. 

Sebelum Apple, komputer hanya untuk perusahaan dan universitas. Besar. Mahal. Rumit. Mereka memenuhi ruangan dan harganya puluhan ribu dolar. Hanya para ahli yang bisa menggunakannya. 

Orang biasa tidak bisa menyentuhnya, apalagi memilikinya. Namun, mimpi Steve Wozniak adalah membuat komputer menjadi pribadi. Membawanya ke tangan dan rumah orang-orang.

Mimpinya membuatnya terjaga. Di siang hari, ia bekerja di Hewlett-Packard (HP) sebagai insinyur. 

Di malam hari, ia menyolder dan menggambar secara diam-diam, membangun sesuatu yang luar biasa: sebuah mesin kompak dan terjangkau bernama Apple I di atas papan kayu. 

Temannya, Steve Jobs, melihatnya dan melihat masa depan. Jobs bukanlah seorang insinyur. Ia adalah energi. Penjual. Seorang yang percaya. 

Ia tidak hanya melihat papan sirkuit. Ia melihat sebuah produk. Ia melihat kemungkinan—sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh eksekutif HP.

Jadi, ia membuat tawaran berani: “Mari kita jual. Mari kita mulai sebuah perusahaan. 

Mari kita sebut… Apple.” Kenapa Apple? Karena itu sederhana. Jobs pernah menghabiskan waktu di sebuah kebun buah. 

Dan karena, dalam kata-katanya, itu terdengar “menyenangkan, bersemangat, dan tidak menakutkan.”

Maka, keduanya menjual apa yang mereka miliki. Wozniak menjual kalkulatornya, Jobs menjual van Volkswagen-nya, dan mereka mengumpulkan $1,300. 

Mereka pun mulai bekerja. Mereka merakit 50 komputer pertama yang dibuat oleh Steve Wozniak di garasi keluarga Jobs. 

Jobs, si penjual, masuk ke sebuah toko komputer lokal, The Byte Shop, dan meyakinkan mereka untuk membeli semua 50 komputer… sebelum komputer itu bahkan dibangun. Dan mereka membeli semuanya.

Itulah pergeseran: sebuah proyek hobi menjadi produk. Sebuah produk menjadi perusahaan. Apple Computer Inc. lahir pada 1 April 1976. Tiba-tiba, sebuah hobi menjadi usaha. 

Namun, mereka belum selesai. Wozniak membangun Apple II, sebuah mesin ramping dengan casing plastik, grafik berwarna, keyboard, dan penyimpanan yang dapat diperluas. 

Ini bukan hanya untuk para penghobi lagi. Ini untuk sekolah, rumah, kantor, dan anak-anak. Apple II tidak hanya terjual. Ia meledak.

Pada tahun 1980, Apple go public dengan valuasi $1,2 miliar. Sementara itu, HP, perusahaan yang menolak Wozniak lima kali, masih membangun kalkulator dan periferal perangkat keras. 

Mereka tidak hanya melewatkan sebuah produk. Mereka melewatkan revolusi komputer pribadi. Mereka melewatkan gelombang triliun dolar yang membentuk kembali planet ini.

Apa yang bisa kita pelajari dari Steve Wozniak, Steve Jobs, dan HP? 

Ketika kita memiliki ide besar, jangan tunggu persetujuan—terutama dari mereka yang tidak dapat melihat masa depan yang kita bayangkan. 

Steve Wozniak memiliki mimpi. Steve Jobs memiliki keberanian. HP memiliki kesempatan. Namun, mereka tidak hanya menolak Apple I. Mereka menolak masa depan, tidak sekali, tetapi lima kali.

Dan di mana posisi mereka sekarang? 

Saat ini, HP masih membangun perangkat keras, printer, komputer, dan suku cadang dengan estimasi kapitalisasi pasar sebesar $28 miliar. 

Sementara itu, Apple membentuk budaya, merancang masa depan, dan menguasai kapitalisasi pasar lebih dari $3 triliun. 

Semua karena dua teman memilih untuk percaya pada mimpi mereka daripada menunggu izin.

Berikut adalah pelajaran yang bisa diambil: – Jangan meminta visi dari yang buta. – Jika mereka menolak ide kita, itu mungkin bukan berarti ide itu buruk, tetapi mungkin terlalu awal bagi mereka. – 

Visioner tidak menunggu. Mereka membangun. – Terkadang, penolakan hanyalah pengalihan ke sesuatu yang lebih besar. – Jangan pernah meremehkan sebuah garasi, sebuah mimpi, dan dua teman dengan keyakinan untuk mewujudkannya.