Pernah nggak sih, kita jalan-jalan ke mal, lihat toko-toko ramai, penuh orang, tapi heran kenapa banyak yang keluar nggak bawa belanjaan? Bukan kita doang yang merhatiin, para pengelola mal juga. Fenomena ini sekarang punya nama yang cukup viral dan lucu rojali (rombongan jarang beli) dan rohana (rombongan hanya nanya). Kedua istilah ini nggak cuma sekadar sindiran lucu netizen, tapi ternyata benar-benar menggambarkan kondisi yang sedang terjadi di lapangan.
Mal ramai, iya. Tapi penjualan? Nggak ikut ramai. Banyak toko justru mengalami penurunan omzet. Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, dalam wawancara dengan media menjelaskan, meski jumlah pengunjung terus meningkat pasca pandemi, tapi yang benar-benar belanja itu jumlahnya makin sedikit. Jadi banyak orang datang, muter-muter, pegang-pegang produk, tanya harga, tapi akhirnya nggak jadi beli. Dan, inilah para rojali dan rohana tadi.
Fenomena ini memperlihatkan realita yang agak getir soal daya beli masyarakat. Nggak sedikit yang datang ke mal hanya untuk cari hiburan atau sekadar window shopping, cuci mata. Apalagi di tengah tekanan ekonomi, banyak keluarga harus benar-benar selektif mengatur pengeluaran. Belanja bukan lagi sekadar impulsif, tapi benar-benar dihitung dan dipikir matang. Salah satu penyebabnya tentu daya beli yang menurun. Bukan karena orang jadi malas belanja, tapi karena keuangan rumah tangga makin ketat. Data dari BPS menunjukkan penurunan konsumsi rumah tangga pada kuartal awal 2025, terutama dari kelas menengah ke bawah. Bahkan kelas menengah atas pun sekarang cenderung mengalihkan belanja ke investasi atau nabung. Jadi, wajar kalau banyak yang pilih lihat-lihat dulu, belinya nanti, itu-pun lewat marketplace.
Dari sisi penjual, kondisi ini bikin pusing tujuh keliling. Toko-toko yang sudah bayar sewa mahal, gaji karyawan, dan biaya operasional, tentu mengharapkan omzet yang sebanding. Tapi ketika pengunjung cuma datang buat cek harga atau cari inspirasi belanja online, ujung-ujungnya transaksi bisa pindah ke marketplace atau bahkan batal sama sekali. Banyak pelaku usaha yang merasa tokonya cuma jadi tempat uji coba dan konsultasi gratis.
Tapi kita juga nggak bisa serta-merta menyalahkan para rojali dan rohana ini. Banyak dari mereka yang datang ke mal sebagai bentuk pelarian dari tekanan hidup. Mal jadi tempat healing murah, nongkrong adem, dan bisa sekalian cuci mata. Kadang mereka juga tetap beli barang yang dilihat di toko, tapi nanti, lewat online, dengan promo dan cashback. Mereka bukan nggak mau beli, tapi menunda sampai waktunya tepat. Kalau boleh jujur, ini bukan soal malas atau pelit. Tapi refleksi dari bagaimana masyarakat kita sedang beradaptasi dengan tekanan ekonomi yang nyata di depan mata. Harga kebutuhan pokok naik, biaya transportasi dan cicilan makin terasa, sementara penghasilan nggak nambah-nambah. Jadi saat ada yang datang ke toko cuma buat tanya harga dan nggak beli, itu bukan karena mereka rese. Tapi bisa jadi karena sedang berjuang tetap waras di tengah dompet yang makin menipis.
Untuk pelaku usaha, ini saatnya mengevaluasi strategi. Jangan cuma andalkan etalase toko dan berharap pelanggan datang langsung beli. Kombinasi antara offline dan online jadi kunci. Toko bisa tetap jadi showroom, tapi harus ada sistem pemesanan online, penawaran digital, atau paket bundling menarik yang bisa memperbesar kemungkinan pembelian. Kasih alasan kenapa konsumen harus beli di tempat, bukan nunda-nunda. Pemerintah pun harus berperan. Jika daya beli masyarakat terus melemah, sektor ritel akan terdampak lebih dalam. Maka kebijakan stimulus, pelatihan UMKM, dan penguatan infrastruktur digital bisa membantu agar penjual lokal punya daya saing yang lebih tinggi, termasuk bersaing dengan e-commerce besar. Jangan malah barter data-informasi rakyat dengan tarif ke negara lain.
Untuk kita semua, sebagai konsumen, yuk mulai lebih bijak juga. Kalau udah niat beli sesuatu dan mampir ke toko, pertimbangkan beli langsung di sana kalau harganya masuk akal. Dengan begitu kita bisa bantu ekonomi lokal dan jaga toko-toko tetap hidup. Kalau memang belum mampu beli, nggak apa-apa juga. Tapi setidaknya pahami kalau di balik meja kasir ada pegawai yang juga berharap hari itu bisa tutup dengan omzet yang layak.
Fenomena rojali dan rohana menunjukkan kalau hubungan antara konsumen dan penjual makin kompleks. Bukan cuma soal transaksi, tapi juga tentang saling memahami realita hidup masing-masing. Yang penting, jangan saling menyalahkan.
Karena, baik yang jual maupun yang lihat-lihat saja, semuanya sedang sama-sama berjuang di ekonomi yang serba dar-der-dor ini. Betul apa betul?
---
#ceritabisnis
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik.
sumber: fp PECAH TELUR